Nasional

RUU Pemasyarakatan Selangkah Lagi Disahkan, Buat Koruptor Lebih Mudah Dapat Remisi

Spread the love

Jakarta, – Undang-Undang Reformasi (RUU) yang kontroversial bisa segera disahkan menjadi undang-undang.

Sebab, pemerintah dan ketiga anggota DPR itu telah mencapai kesepakatan bahwa tidak ada masalah yang menghalangi pengesahan RUU tersebut. slot gacor hari ini

Dasar perdebatan reformasi adalah isu fasilitasi pembebasan bersyarat narapidana untuk kejahatan luar biasa, termasuk kasus korupsi. Oleh karena itu, upaya pengesahan undang-undang pada tahun 2019 ditolak keras oleh para pakar hukum dan aktivis antikorupsi.

Pasalnya, reformasi tersebut akan mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberlakuan Hak Pemasyarakatan Tahun 2012, sehingga ketentuan pemberian pembebasan bersyarat menjadi PP 32 Tahun 1999.

Namun Wakil Menteri Hak Perusahaan (Wamenkum HAM) Edward Omar Sharif Hayarij mengatakan RUU reformasi saat ini tidak bermasalah.

Edwards berbicara pada Sidang Komite Ketiga DPR (RDP) pada Rabu, 25 Mei 2022.

Dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 tentang Syarat dan Tata Cara Penegakan Hak Narapidana, yang dicabut Mahkamah Agung (MA) pada 2012, Eddy mengaku pemerintah juga tidak mempersoalkannya.

“Padahal, putusan MA atas PP 99 justru memperkuat peraturan perundang-undangan yang ada,” jelasnya.

Mendengar hal itu, Desmond Mahesa, Wakil Ketua III DPR, meminta persetujuan majelis hakim agar RUU reformasi bisa diumumkan ke publik. Semua peserta dalam persidangan menyetujui hal ini.

“Apakah Anda punya catatan, teman-teman?” kata Desmond, mengetuk dengan palu sebagai tanda persetujuan. “Kalau begitu kita akan memindahkan tagihan penjara ke tingkat berikutnya, apakah Anda setuju?”

Setelah panitia ketiga ini menyampaikan hasil rapat kepada pimpinan DPR RI untuk ditindaklanjuti, lanjut Desmond. Selain itu, pimpinan HPR akan menyampaikan pemberitahuan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang hasil pertemuan antara Pemerintah dan Komite III yang meminta persetujuan RUU reformasi untuk disahkan menjadi undang-undang.

PP 99/2012 mengatur persyaratan yang direkomendasikan bagi aparat penegak hukum yang memberatkan pemberian pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi. Keputusan No. Pasal 34a Tahun 99/2012 mengatur syarat-syarat dimana aparat penegak hukum mau bekerja sama membantu penyelesaian perkara pidana yang dilakukan atau diketahui bekerja sama dengan keadilan serta membayar denda dan ganti rugi kerugian Negara.

Selanjutnya, ayat (3) Pasal 43B memerlukan rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi untuk dipertimbangkan kepada Direktur Pemasyarakatan dalam pemberian pembebasan bersyarat.

Ketentuan ini disebut sebagai PP No. 32 Oktober 1999. Kemudian, pada Oktober 2021, Mahkamah Agung membatalkan PP 99/2012 karena bertentangan dengan UU No.

Pada tahun 2021, Indonesian Corruption Watchdog (ICW) menyampaikan pandangannya terkait pencabutan PP 99/2012. Menurut mereka, negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak asasi narapidana koruptor, tetapi pemerintah juga harus menerapkan metode yang tidak biasa dalam menangani kasus pidana yang tergolong luar biasa.

Menurut Mahkamah Agung, alasan penghapusan PP 99/2012 adalah karena diskriminatif karena melanggar model pemidanaan restoratif, diskriminatif dalam memperlakukan narapidana, dan membuat kondisi penjara tidak nyaman. penuh sesak.

Dengan mencabut PP 99/2012, ICW berarti Mahkamah Agung tidak sejalan dengan putusan sebelumnya. Keputusan No. 51 P/HUM/2013 dan No. Pada 63 P/HUM/2015, Mahkamah Agung menemukan bahwa perbedaan pengampunan didasarkan pada sifat jenis kejahatan, risiko dan dampak kejahatan yang dilakukan oleh narapidana.

Sementara itu, menurut ICW, juga keliru untuk mengatakan bahwa penguatan kondisi pengampunan tidak dalam semangat keadilan restoratif. Pemberian amnesti sebenarnya merupakan hak narapidana, namun syarat pemberiannya harus difokuskan pada pemberian spoiler-deterrent effect.

Karena itu, ICW mengatakan Mahkamah Agung tidak boleh menyamakan korupsi dengan kejahatan publik lainnya.

Dewan Perempuan Internasional kemudian mengkritik alasan penyelesaian penjara tersebut. Karena sebagian besar napi tersangkut kasus narkoba. Sementara itu, menurut ICW, per Maret 2020, dari total 270.445 narapidana, 1.906 (0,7%) terpidana korupsi.

(Penulis: Nicholas Ryan Aditya | Editor: Diamante Miliana)

Anda mungkin juga suka...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *