Nasional

Membuka Sekat Penelitian Di Wilayah Perbatasan Melalui BRIN

Spread the love

Kehadiran Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang dibentuk melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor Tahun 2021 membawa angin segar dan harapan baru bagi para peneliti yang bertugas di daerah, khususnya di wilayah perbatasan. pragmatic play

Harapan baru ditumpangkan kepada BRIN, didasarkan dari pengalaman penulis sebagai eks peneliti di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang bertugas di satuan kerja (Satker) yang berada di wilayah perbatasan, Provinsi Kepulauan Riau.

Banyak sekat atau batasan yang menjadi kendala dengan sistem penelitian yang diterapkan selama ini.

Ada sejumlah kendala atau keterbatasan yang dihadapi peneliti Kemdikbud yang bertugas di wilayah perbatasan Provinsi Kepulauan Riau.

Pertama, tidak ada penelitian kolaborasi. Di wilayah Kepri, ada sejumlah satker Kemdikbud, namun nyaris tidak ada kolaborasi dalam penelitian antara di antara satker yang ada.

Meski tidak ada aturan tertulis, dalam penelitian ada semacam larangan melibatkan pihak lain dalam penelitian baik itu dari satker lain atau dari perguruan tinggi.

Kedua, pembatasan wilayah penelitian. Provinsi Kepri berbatasan langsung dengan Malaysia dan Singapura.

Permasalahannya adalah peneliti yang bertugas di Kepri tidak bisa melakukan penelitian ke Malaysia dan Singapura, dengan alasan bukan wilayah penelitian dan statusnya luar negeri yang membutuhkan perizinan yang rumit di Jakarta.

Padahal dari segi isu atau tema penelitian kesejarahan dan budaya, ada begitu banyak yang bisa diangkat dan biayanya jauh lebih murah.

Dalam sejarahnya, Provinsi Kepri, bersama Malaysia dan Singapura sejak abad 15 hingga tahun 1824 berada dalam kemaharajan Malaka yang dilanjutkan Kerajaan Johor Riau Lingga dan Pahang.

Hubungan masyarakat semenanjung Melayu ini begitu dekat dan hanya administrasi yang memisahkan.

Orang Batam, Tanjungpinang, dan Karimun banyak memiliki saudara di Malaysia dan Singapura dan begitu juga sebaliknya. Tapi, penelitian lintas wilayah dan berbentuk kolaborasi juga tidak bisa dilakukan.

Ketiga, waktu penelitian yang minim. Waktu penelitian para peneliti untuk melakukan penelitian di lapangan juga sangat dibatasi berkisar antara 8-12 hari.

Waktu penelitian yang relatif singkat berdampak pada hasil penelitian yang tidak optimal.

Di Provinsi Kepri, penelitian di daerah perbatasan bagian utara seperti Natuna dan Anambas sering mengalami kendala penerbangan dan pelayaran kapal yang sering tidak pasti.

Apalagi pada saat musim tertentu gelombang laut tinggi, kapal tidak diizinkan berlayar.

Bayangkan kalau waktu penelitian hanya dibatasi 8-12 hari. Waktu banyak terbuang hanya untuk perjalanan pulang pergi (PP) ke lokasi penelitian.

Keempat, minimnya anggaran penelitian. Anggaran penelitian di satker yang ada di daerah, persentasenya sangat kecil dibandingkan jumlah total anggaran.

Hal ini disebabkan satker itu tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) memang tidak murni untuk penelitian.

Mayoritas anggaran habis untuk kegiatan internalisasi, layanan perkantoran, dan kepegawaian.

Banyak yang menganggap, alasan klise menjadikan minimnya anggaran sebagai kendala.

Tapi, anggaran yang minim menjadi kendala tersendiri bagi peneliti dalam melakukan penggalian data di lapangan.

Anggaran habis untuk akomodasi penginapan, transportasi, dan juga untuk kegiatan diskusi terpumpun di lokasi penelitian.

Bahkan, tidak ada anggaran untuk sewa mobil, sewa speedboat atau sampan yang sangat menunjang kinerja peneliti di daerah perbatasan.

Kelima, tema Penelitian Top Down. Tema penelitian setiap tahunnya ditentukan dari Kemdikbud dan tidak mempertimbangkan kepakaran peneliti.

Setiap tahun tema penelitian cenderung berubah, yang menyebabkan penelitian yang dilakukan peneliti setiap tahun juga berubah-ubah. Tidak ada kesinambungan atau penelitian berkelanjutan.

Tidak mengherankan hasil penelitian yang dihasilkan seorang peneliti jadi gado-gado. Karena, penelitian disesuaikan dengan tema yang sudah ditetapkan dari ‘Jakarta’.

Keenam, tugas lain selain penelitian. Para peneliti yang bekerja di daerah lebih banyak mengurusi pekerja diluar tugas utamanya sebagai peneliti.

Peneliti disibukkan dengan tugas lain sesuai tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) instansi tempatnya bekerja.

Peneliti lebih banyak mengurusi kegiatan seremonial, seperti panitia seminar, panitia berbagai lomba, pembuatan film atau pun sosialisasi ke masyarakat.

Ketujuh, ketidakadilan tunjangan kinerja. Para peneliti yang bekerja di satker daerah mengalami kerugian dari segi penghasilan, karena kebijakan dari Kemdikbud.

Peneliti madya yang bertugas di satker yang kepalanya Eselon 3 seperti Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri, tunjangan kinerja yanga dibayarkan dalah grade 9. Posisinya setara dengan Tukin kepala sub bagian tata usaha (Kasubag TU).

Peneliti dengan status ahli peneliti utama (APU), tunjangan kinerjanya dibayarkan grade 12 atau yang seharusnya untuk jabatan peneliti madya.

Di satker yang kepalanya Eselon 4 seperti Kantor Bahasa Kepri, nasibnya lebih naas lagi. Peneliti hanya bisa pada tingkat peneliti pertama.

Bagi yang ingin naik jenjang kariernya, makae mesti harus keluar dari instansi tersebut.

Hal ini di satu sisi mematikan karier peneliti yang ingin bertugas di wilayah perbatasan tersebut.

Bergabung dengana BRIN adalah sebuah pilihan. Dari hampir 200-an peneliti di Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemdikbud yang bergabung ke BRIN sekitar 70-an orang.

Sebagian besar tetap di Kemdikbud, beralih status menjadi pamong budaya.

Secara garis besar ada dua kelompok peneliti dari Kemdikbud yang bergabung ke BRIN.

Pertama, peneliti madya yang usianya jelang 60 tahun. Mereka tidak jadi pamong budaya, karena kendala umur yang harus pensiun umur 60 untuk pamong budaya madya.

Kedua, peneliti yang ingin berkarier di lembaga baru, yang diyakini bisa membawa harapan baru.

Bergabung dengan BRIN sejak 1 Januari 2022 lalu, hanya dalam waktu singkat sejumlah hal baru yang positif diperoleh.

Penelitian kolaborasi yang diidamkan-idamkan bisa terlaksana. Penulis bergabung dengan tim penelitian tentang perdagangan rempa,h yang melakukan penelitian dengan lokasi penelitian di tiga provinsi, yaitu Maluku Utara, Sulawesi Utara, dan Sumatra.

Dari enam anggota tim penelitian, tiga dari BRIN dan tiga orang lagi dari perguruan tinggi, serta dari organisasi pelaku usaha.

Hal menarik lainnya, keenam tim peneliti memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda-beda, di antaranya sejarah, sosiologi, manajemen, ekonomi pembangunan, dan Sastra Inggris.

Selain dari segi penelitian kolaborasi, pola penelitian yang diberlakukan di BRIN juga menjadi daya tarik bagi penulis, mulai dari pembuatan proposal, seminar proposal, dan pembagian kerja per anggota tim.

Di Kemdikbud, setiap peneliti setiap tahun mendapat ‘jatah penelitian’ dan proposal hanya formalitas, karena penelitian sudah pasti disetujui dan anggaran sudah ada.

Sementara di BRIN, peneliti harus bersaing untuk mendapatkan anggaran penelitian.

Di sinilah dibutuhkan kepiawaian menggandeng sumber daya manusia yang berkualitas dan berkolaborasi. untuk membuat proposal yang bagus sehingga lolos.

Pola kerja dengan sistem ruang kerja bersama atau co working space (CWS) juga menjadi sesuatu yang baru.

Kebijakan CWS yang diterapkan BRIN, termasuk juga adanya pilihan bekerja dari rumah atau work from home (WFH) berjalan baik.

Peneliti bisa fokus dalam tugas utamanya meneliti dengan output terbaik dan bisa dibaca, serta dimanfaatkan masyarakat.

Ke depan harapannya, CWS semakin banyak. Belum semua provinsi memiliki CWS BRIN, termasuk Provinsi Kepri.

Pembayaran tunjangan kinerja di BRIN menggembirakan peneliti eks kementerian.

Peneliti madya yang sebelumnya menerima tukin grade 9 atau setara peneliti muda, kini bisa tersenyum, karena tukinnya dibayar sesuai jabatannya.

Begitu juga peneliti utama dari eks kementerian, mereka bisa tersenyum karena kenaikan penghasilan per bulannya.

Pendek kata dari segi penghasilan, peneliti madya dan peneliti utama sudah memperoleh berkah sejak bergabung dengan BRIN.

Para peneliti yang masih berpendidikan Strata 1 (S1) atau S2 bergabung ke BRIN juga karena ada harapan. Pasalnya, di BRIN, akses untuk melanjutkan pendidikan lebih luas lagi.

Dengan peningkatan pendidikan dan penelitian lebih fokus, harapan utamanya tentu karier sebagai peneliti semakin bagus. Karier moncer tentu berdampak pada kesejahteraan para peneliti.

Ke depannya, BRIN diharapkan punya gaung yang lebih besar lagi. Memperbanyak CWS ke daerah-daerah, agar BRIN lebih dikenal.

Selain itu, juga diharapkan ada peningkatan anggaran dana penelitian, serta wilayah dan kajian penelitian bisa diperluas.

Tak menutup kemungkinan, peneliti sebagai koki atau chef, nantinya bisa menjadi bagian lain di BRIN yang akan ‘menghidangkan’ ke masyarakat, agar bisa dinikmati dan bermanfaat. **

Dedi Arman, S.S, M.M Peneliti Pusat Riset Kewilayahan – BRIN

Anda mungkin juga suka...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *